Ma'had Aly Raudhatul Ma'arif

Dalam rangka memperingati rangkaian Hari Santri Nasional (HSN) 2023 Dema Ma’had Aly Raudhatul Ma’arif Cot Trueng bekerjasama dengan LBM RAMA dan Humas Dayah Raudhatul Ma’arif Cot Trueng menyelenggarakan Munadharah Santri Dayah Raudhatul Ma’arif ke 2.

Acara Munadharah Santri ke 2 diselenggarakan pada 22 Oktober 2023 di Mesjid Al Akmal, Cot Trueng serta dihadiri oleh seluruh santri, dan dewan guru Dayah Raudhatul Ma’arif, dimulai dari jam 20:30 WIB- Selesai.

Menurut Tgk. Wandi, selaku bagian penelitian Ma’had Aly Raudhatul Ma’arif, mengatakan bahwa acara tersebut pernah juga diselengarakan oleh Humas Dayah Raudhatul Ma’arif bekerjasama dengan LBM RAMA dan Dema Rama pada tahun 2022. Namun, acara tersebut diselenggarakan dalam momen Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw. Berbeda dengan acara Munadharah Santri RAMA pada tahun ini, diselenggarakan dalam rangka memeriahkan Hari Santri Nasional 2023

“Ya, acara Munadharah Santri kali ini dalam rangka memperingati rangkaian Hari Santri Nasional. Namun, acara serupa juga pernah diselenggarakan oleh Humas Dayah bekerja sama dengan LBM RAMA dan DEMA Raudhatul Ma’arif dalam rangka memperingati Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw.” ujar beliau sewaktu diwawancarai.

Perlu diketahui acara Munadharah Santri adalah acara bedah hukum yang dilakukan oleh para santri aktif Dayah Raudhatul Ma’arif Cot Trueng melalui diskusi terbuka yang dalam berada dalam pengawasan Dewan Tashih LBM RAMA.

Munadharah Santri RAMA memiliki mekenisme yang unik, yang mana peserta bedah hukum dibagi dalam tiga kelompok. Yakni, Tim Musaheh, Tim Musbit, dan Tim Manfi.

Tim Musbit bertugas menyebutkan suatu hukum yang dibahas dalam acara Munadharah dan hukum yang telah diisbat oleh tim Musbit akan dinafikan oleh tim Manfi.

Tim Musaheh bertugas mengarahkan acara bedah hukum melalui diskusi hangat yang dilakukan oleh tim Musbit dan tim Munfi. Mereka juga bertugas sebagai penengah antara tim Manfi dan Tim Musbit, serta pada akhir acara mereka akan menarik satu kesimpulan hukum yang dihasilkan dari diskusi hangat para peserta Musbit dan Manfi

Acara kali ini mendiskusikan dua tema yang lagi eksis di sebagian kalangan masyarakat. Terutama masyarakat Aceh. Tema yang pertama membahas tentang “Polemik Sholat di Atas Perahu”. Setelah tema pertama selesai dibedah, peserta mendiskusikan tema yang kedua, yakni “Hukum Istinja’ dengan Tisue”

Berikut tema, latar belakang masalah, kesimpulan, beserta referensi Hukum yang dibahas dalam Munadharah Santri RAMA ke 2

1. Hukum Istinja’ Dengan Tisue

A. Deskripsi Masalah

Islam merupakan agama yang sangat disiplin dalam masalah kebersihan. Oleh karena itu, perkara-perkara yang berkaitan dengan cara bersuci, istinja’, dan alat yang digunakan untuk itu, telah diatur dalam Alquran dan diperjelas melalui hadis Nabi Muhammad SAW.
Dalil mengenai ketentuan bersuci ini tergambar melalui firman Allah SWT Al-Maidah ayat 6:

Bahkan, Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda: “Kesucian merupakan sebagian dari iman,” (HR. Muslim).
Namun di era melenial ini banyak kita jumpai WC yang tidak menyediakan air terutama sewaktu kita melakukan perjalanan mengunakan pesawat atau berkunjung ke negara yang tidak menyediakan air dalam WC. Atau, jika berada di daerah yang rawan kekeringan sehingga air yang tersedia tidak cukup untuk bersuci, kecuali untuk konsumsi sehari-hari.

Lantas, apakah boleh menggunakan tisu sebagai ganti air untuk bersuci atau beristinja, terutama membersihkan kubul selepas buang air besar atau kecil?

B. Rumusan Masalah

1. Apakah tisue bisa dijadikan alat Istinjak ?

2. Apakah sah sholat orang yang Istinjak dengan tisue?

C. Jawaban

1. Hukum beristinjak dengan tisue dibolehkan selama melengkapi syarat-syarat beristinjak dengan batu yaitu :

a. Mengunakan 3 batu / 3 sisi batu
Bisa membersihkan tempat keluar kotoran
b. Kotoran belum kering
c. Kotoran belum berpindah dari tempat keluarnya
d. Tempat istinjak tidak terkena benda yang lain sekalipun tidak najis
e. Kotoran belum terkena air
f. Batu harus suci
g. Bukan batu yang dihormatkan

2. Shalat orang yang beristinjak dengan tisue hukumnya Sah.

D. Referensi

وَجَوَّزَهُ أَيْ الِاسْتِنْجَاءَ الْقَاضِي بِوَرَقِ التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ، وَيَجِبُ حَمْلُهُ عَلَى مَا عَلِمَ تَبَدُّلَهُ مِنْهُمَا وَخَلَا عَنْ اسْمِ اللَّهِ تَعَالَى وَنَحْوِهِ انْتَهَى
ابن حجر الهيتمي، تحفة المحتاج في شرح المنهاج وحواشي الشرواني والعبادي، ١٦٠/١]

ويجب الاستنجاء بماء أو حجر وجمعهما أفضل وفي معنى الحجر كل جامد طاهر قالع غير محترم وجلد دبغ دون غيره في الأظهر وشرط الحجر أن لا يجف النجس ولا ينتقل ولا يطرأ أجنبي ولو ندر أو انتشر فوق العادة ولم يجاوز صفحته وحشفته جاز الحجر في الأظهر
[النووي، منهاج الطالبين وعمدة المفتين في الفقه، صفحة ١١]

مسئلة (ج) : يجوز الاستنجاء بالحجر الطاهر وفي معناه كل جامد لم ينفصل منه شيء إلى المحل حا ل الاستنجاء قالع للنجاسة كجذع وطين متحجر ، ولا يلزم المستنجي بالحجر القضاء وإن تيمم . فائدة : يجوز الاستنجاء بأوراق البياض الخالي عن ذكر الله تعالى كما في الإيعاب ، ويحرم الاستجمار بالجدران الموقوفة والمملوكة للغير قاله (سم) . وقال بج : وتعتريه أي الاستنجاء الأحكام الخمسة ، فهو واجب من الخارج الملوث ، ومستحب من خروج دود وبعر بلا لوث ، ومكروه من خروج ريح ، وحرام بمطعوم ، ومباح قبل دخول الوقت على الأصل اهـ .
بغية المرتشدين رقم ٢٨

أَن لَا يطْرَأ عَلَيْهِ أَجْنَبِي نجسا كَانَ أَو طَاهِرا رطبا وَلَو ببلل الْحجر أما الجاف الطَّاهِر فَلَا يُؤثر فَإِن طَرَأَ عَلَيْهِ مَا ذكر تعين المَاء
[الخطيب الشربيني، الإقناع في حل ألفاظ أبي شجاع، ٥٥/١]

2. Polemik Sholat Di Atas Perahu

A. Deskripsi masalah

Shalat merupakan ibadah yang wajib dikerjakan oleh setiap muslim dimanapun berada baik didarat ataupun dilaut. Ibadah shalat tentulah mempunyai ketentuan berupa rukun dan syarat yang harus dipenuhi sehingga shalat tersebut dianggap sah. Diantara syarat sah shalat adalah menghadap kiblat.

Perihal menghadap kiblat ini kerap kali menjadi sebuah kesulitan tersendiri terhadap orang-orang yang berada dilaut misalnya. Dengan demikian hal ini patut untuk dibahas dan dikaji agar tidak terjadi simpang siur pemahaman dalam mengerjakan shalat.

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana hukum menghadap kiblat bagi orang mengerjakan shalat fardhu dan sunat diatas perahu?

2. Jika wajib bagaimana status shalat, jika berubah arah perahu dari arah kiblat, apakah batal atau tidak ?

3. Bagaimana cara mengerjakan shalat disaat tidak memungkinkan menghadap kiblat ?

C. Jawaban :

1. a. Apabila yang mushali melakukan sholat fardhu maka wajib hukumnya dia menghadap kiblat. Bahkan, apabila perahu berputar dia harus kembali menghadap arah kiblat.

b. Apabila Sholat yang dilakukan musholi bersifat Sholat Sunnah maka hukumnya sebagaimana rincian berikut :

•Apabila mudah bagi musholi mengahadap qiblat maka wajib baginya menghadap kiblat pada takbiratul ihram. Namun, apabila sukar mengahadap kiblat maka tidak diwajibkan mengahadap kiblat

Maksud mudah dalam hal ini adalah kendaraan tetap, atau kendaraan berjalan, tapi bisa dikendalikan. Sedangkan sukar sebalik dari itu ( kendaraan berjalan dan susah dikendalikan)

2. Batal apabila sholat itu bersifat fardhu, atau sholat Sunnah yang tidak sukar mengahadap kiblat

3. Namun, jika tidak mungkin menghadap kiblat bagi sholat fardhu maka hendaknya dia melakukan sholat hormat waktu, dikemudian hari dia harus melakukan i’adah sholat menurut pendapat selain Ibnu Hajar Al Haitami

D. Referensi :

۱. قَالَ أَصْحَابُنَا إذَا صَلَّى الْفَرِيضَةَ فِي السَّفِينَةِ لَمْ يَجُزْ لَهُ تَرْكُ الْقِيَامِ مَعَ الْقُدْرَةِ كَمَا لَوْ كَانَ فِي الْبَرِّ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَجُوزُ إذَا كَانَتْ سَائِرَةً قَالَ أَصْحَابُنَا فَإِنْ كَانَ لَهُ عُذْرٌ مِنْ دَوَرَانِ الرَّأْسِ وَنَحْوِهِ جَازَتْ الْفَرِيضَةُ قَاعِدًا لِأَنَّهُ عَاجِزٌ فَإِنْ هَبَّتْ الرِّيحُ وَحَوَّلَتْ السَّفِينَةَ فَتَحَوَّلَ وَجْهُهُ عَنْ الْقِبْلَةِ وَجَبَ رَدُّهُ إلى القبلة ويبى عَلَى صَلَاتِهِ بِخِلَافِ مَا لَوْ كَانَ فِي الْبَرِّ وَحَوَّلَ إنْسَانٌ وَجْهَهُ عَنْ الْقِبْلَةِ قَهْرًا فَإِنَّهُ تَبْطُلُ صَلَاتُهُ كَمَا سَبَقَ بَيَانُهُ قَرِيبًا قَالَ الْقَاضِي حُسَيْنٌ وَالْفَرْقُ أَنَّ هَذَا فِي الْبَرِّ نَادِرٌ وَفِي الْبَحْرِ غَالِبٌ وَرُبَّمَا تَحَوَّلَتْ فِي سَاعَةٍ وَاحِدَةٍ مِرَارًا
[النووي ,المجموع شرح المهذب ,3/242]

۲. (عَلَى دَابَّةٍ) وَمِنْهَا الْآدَمِيُّ وَمِثْلُهَا الْأُرْجُوحَةُ، وَالسَّفِينَةُ وَالسَّرِيرُ عَلَى الْأَعْنَاقِ. قَوْلُهُ: (وَهِيَ وَاقِفَةٌ جَازَ) وَكَالْوَاقِفَةِ مَا لَوْ كَانَ زِمَامُهَا بِيَدِ مُمَيِّزٍ، وَكَذَا حَامِلُ السَّرِيرِ وَلَوْ وَاحِدًا مِنْ حَامِلِيهِ حَيْثُ ضُبِطَ بَاقِيهمْ، وَكَذَا لَوْ كَانَ مَسِيرُ السَّفِينَةِ غَيَّرَهُ لِعَدَمِ نِسْبَةِ سَيْرِ مَا ذُكِرَ إلَيْهِ، وَذَلِكَ لَا يَصِحُّ طَوَافُهُ عَلَيْهِ. قَوْلُهُ: (أَوْ سَائِرَةً) وَلَوْ فِي أَثْنَائِهَا وَمِنْهَا الْمَقْطُورَةُ فَلَا يَصِحُّ نَعَمْ إنْ خَافَ مِنْ نُزُولِهِ عَنْهَا نَحْوَ انْقِطَاعٍ عَنْ رُفْقَتِهِ وَإِنْ لَمْ يَتَضَرَّرْ صَلَّى عَلَيْهَا وَأَعَادَ وَقَالَ ابْنُ حَجَرٍ بِلَا إعَادَةٍ وَقَوْلُ الْمَنْهَجِ لِمَا مَرَّ قِيلَ أَرَادَ بِهِ الْعَجْزَ فِي أَوَّلِ الْبَابِ، وَإِنْ كَانَ ذَاكَ حِسِّيًّا وَقِيلَ أَرَادَ بِهِ مَا فِي التَّيَمُّمِ وَهُوَ بَعِيدٌ وَإِنْ كَانَ فِي شَرْحِ الرَّوْضِ.
[القليوبي، حاشيتا قليوبي وعميرة، ١٥٤/١]

۳. أَمَّا الرَّاكِبُ فِي سَفِينَةٍ فَيَلْزَمُهُ الِاسْتِقْبَالُ وَإِتْمَامُ الْأَرْكَانِ سواء كانت واقفة أَوْ سَائِرَةً لِأَنَّهُ لَا مَشَقَّةَ فِيهِ وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ هَذَا فِي حَقِّ رُكَّابِهَا الْأَجَانِبِ اما ملاحها الذى يسبرها فَقَالَ صَاحِبُ الْحَاوِي وَأَبُو الْمَكَارِمِ يَجُوزُ لَهُ تَرْكُ الْقِبْلَةِ فِي نَوَافِلِهِ فِي حَالِ تَسْيِيرِهِ قَالَ صَاحِبُ الْحَاوِي لِأَنَّهُ إذَا جَازَ لِلْمَاشِي تَرْكُ الْقِبْلَةِ لِئَلَّا يَنْقَطِعَ عَنْ سَيْرِهِ فَلَأَنْ يَجُوزَ لِلْمَلَّاحِ الَّذِي يَنْقَطِعُ هُوَ وَغَيْرُهُ أَوْلَى وَأَمَّا رَاكِبُ الدَّابَّةِ مِنْ بَعِيرٍ وَفَرَسٍ وَحِمَارٍ وَغَيْرِهَا إذَا لَمْ يُمْكِنْهُ أَنْ يَدُورَ عَلَى ظَهْرِهَا بِأَنْ رَكِبَ عَلَى سَرْجٍ وَقَتَبٍ وَنَحْوِهِمَا فله ان يتنفل إلَى أَيِّ جِهَةٍ تَوَجَّهَ لِمَا سَبَقَ مِنْ الْأَدِلَّةِ وَهَذَا مُجْمَعٌ عَلَيْهِ وَلِأَنَّهُ لَوْ لَمْ يَجُزْ التَّنَفُّلُ فِي السَّفَرِ إلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ لَانْقَطَعَ بَعْضُ النَّاسِ عَنْ أَسْفَارِهِمْ لِرَغْبَتِهِمْ فِي الْمُحَافَظَةِ عَلَى الْعِبَادَةِ وَانْقَطَعَ بَعْضُهُمْ عَنْ التَّنَفُّلِ لِرَغْبَتِهِمْ فِي السَّفَرِ
[النووي ,المجموع شرح المهذب ,3/233]

۴. فَرْعٌ)
قَالَ أَصْحَابُنَا إذَا صَلَّى الْفَرِيضَةَ فِي السَّفِينَةِ لَمْ يَجُزْ لَهُ تَرْكُ الْقِيَامِ مَعَ الْقُدْرَةِ كَمَا لَوْ كَانَ فِي الْبَرِّ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَجُوزُ إذَا كَانَتْ سَائِرَةً قَالَ أَصْحَابُنَا فَإِنْ كَانَ لَهُ عُذْرٌ مِنْ دَوَرَانِ الرَّأْسِ وَنَحْوِهِ جَازَتْ الْفَرِيضَةُ قَاعِدًا لِأَنَّهُ عَاجِزٌ فَإِنْ هَبَّتْ الرِّيحُ وَحَوَّلَتْ السَّفِينَةَ فَتَحَوَّلَ وَجْهُهُ عَنْ الْقِبْلَةِ وَجَبَ رَدُّهُ إلى القبلة ويبى عَلَى صَلَاتِهِ بِخِلَافِ مَا لَوْ كَانَ فِي الْبَرِّ وَحَوَّلَ إنْسَانٌ وَجْهَهُ عَنْ الْقِبْلَةِ قَهْرًا فَإِنَّهُ تَبْطُلُ صَلَاتُهُ كَمَا سَبَقَ بَيَانُهُ قَرِيبًا قَالَ الْقَاضِي حُسَيْنٌ وَالْفَرْقُ أَنَّ هَذَا فِي الْبَرِّ نَادِرٌ وَفِي الْبَحْرِ غَالِبٌ وَرُبَّمَا تَحَوَّلَتْ فِي سَاعَةٍ وَاحِدَةٍ مِرَارًا
[النووي ,المجموع شرح المهذب ,3/242]

۵. فَحَاصِلُهُ مَا ذَكَرَهُ الشِّهَابُ حَجّ بِقَوْلِهِ: وَظَاهِرُ صَنِيعِ الْمَتْنِ أَنَّهُ لَا يَجِبُ الِاسْتِقْبَالُ فِي الْجَمِيعِ وَإِتْمَامُ الْأَرْكَانِ كُلِّهَا أَوْ بَعْضِهَا إلَّا إنْ قَدَرَ عَلَيْهِمَا مَعًا، وَإِلَّا لَمْ يَجِبْ الْإِتْمَامُ مُطْلَقًا وَلَا الِاسْتِقْبَالُ إلَّا فِي تَحَرُّمٍ سَهْلٍ.
[الرملي، شمس الدين، نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج، ٤٣٠/١]

۶. (فَإِنْ أَمْكَنَ) أَيْ سَهُلَ (اسْتِقْبَالُ الرَّاكِبِ فِي مَرْقَدٍ) كَمِحَفَّةٍ (وَإِتْمَامُ رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ) وَحْدَهُمَا، أَوْ مَعَ غَيْرِهِمَا (لَزِمَهُ) الِاسْتِقْبَالُ، وَالْإِتْمَامُ لِمَا قُدِّرَ عَلَيْهِ مِنْ الْكُلِّ، أَوْ الْبَعْضِ كَرَاكِبِ السَّفِينَةِ إذْ لَا مَشَقَّةَ (وَإِلَّا) يُمْكِنْهُ ذَلِكَ كُلُّهُ
[ابن حجر الهيتمي، تحفة المحتاج في شرح المنهاج وحواشي الشرواني والعبادي، ٤٩٠/١]

۷. ستقبال القبلة شرط لصلاة القادر إلا في شدة الخوف ونفل السفر فللمسافر التنفل راكبا وماشيا ولا يشترط طول سفره على المشهور فإن أمكن استقبال الراكب في مرقد وإتمام ركوعه وسجوده لزمه وإلا فالأصح أنه إن سهل الاستقبال وجب وإلا فلا ويختص بالتحرم وقيل: يشترط في السلام أيضا ويحرم انحرافه عن طريقه إلا إلى القبلة ويوميء بركوعه وسجوده أخفض والأظهر أن الماشي يتم ركوعه وسجوده ويستقبل فيهما وفي إحرامه ولا يمشي إلا في قيامه وتشهده ولو صلى فرضا على دابة واستقبل وأتم ركوعه وسجوده وهي واقفة جاز أو سائرة فلا ومن صلى في الكعبة واستقبل جدارها أو بابها مردودا أو مفتوحا مع ارتفاع عتبته ثلثي ذراع أو على سطحها مستقبلا من بنائها ما سبق جاز ومن أمكنه علم القبلة حرم عليه التقليد
[النووي، منهاج الطالبين وعمدة المفتين في الفقه، صفحة ٢٤]

۸. ما الراكب في سفينة فيلزمه الاستقبال واتمام الاركان سواء كانت واقفة أو سائرة لانه لا مشقة فيه وهذا متفق عليه هذا في حق ركابها الاجانب اما ملاحها الذى يسبرها فقال صاحب الحاوى وابو المكارم يجوز له ترك القبلة في نوافله في حال تسييره
(النووي, المجموع شرح المهذب, ۳/۲۳۲)

۹. وَيَجِبُ اسْتِقْبَالُ رَاكِبِ السَّفِينَةِ إلَّا الْمَلَّاحَ وَهُوَ مَنْ لَهُ دَخْلٌ فِي تَسْيِيرِهَا فَإِنَّهُ يَتَنَفَّلُ لِجِهَةِ مَقْصِدِهِ وَلَا يَلْزَمُهُ الِاسْتِقْبَالُ إلَّا فِي التَّحَرُّمِ إنْ سَهُلَ وَلَا إتْمَامُ الْأَرْكَانِ وَإِنْ سَهُلَ؛ لِأَنَّهُ يَقْطَعُهُ عَنْ عَمَلِهِ
[ابن حجر الهيتمي، تحفة المحتاج في شرح المنهاج وحواشي الشرواني والعبادي، ٤٨٩/١]

۱۰. وَلَا يُشْتَرَطُ اسْتِقْبَالُ رُبَّانِ السَّفِينَةِ) بِرَاءٍ مَضْمُومَةٍ وَمُوَحَّدَةٍ مُثَقَّلَةٍ وَهُوَ رَئِيسُ الْمَلَّاحِينَ قَالَهُ صَاحِبُ الْقَامُوسِ وَالْمُرَادُ مَلَّاحُ السَّفِينَةِ الَّذِي يَسِيرُهَا وَذَلِكَ لِأَنَّ تَكْلِيفَهُ الِاسْتِقْبَالَ يَقْطَعُهُ عَنْ النَّفْلِ أَوْ عَمَلِهِ بِخِلَافِ بَقِيَّةِ مَنْ فِي السَّفِينَةِ وَهَذَا مَا جَرَى عَلَيْهِ النَّوَوِيُّ وَصَحَّحَ الرَّافِعِيُّ فِي الشَّرْحِ الصَّغِيرِ الِاشْتِرَاطَ
أَسْنَى الْمَطَالِبِ فِي شَرْحِ رَوْضِ الطَّالِبِ

Scroll to Top