Ma'had Aly Raudhatul Ma'arif

Oleh: Tgk. Aulia Ababiel

Sejarah dan Tujuan Berdirinya Ma’had Aly

            Ma’had Aly merupakan jenjang pendidikan tinggi pesantren yang didirikan di dalam ruang lingkup pesantren dengan tujuan mengembangkan kajian keislaman secara mendalam berdasarkan kurikulum khas pesantren dengan mengkaji kitab kuning. Pada dasarnya, Ma’had Aly didirikan untuk menciptakan kader ulama yang benar-benar mumpuni dalam memahami agama. Sehinga kelak para lulusan Ma’had Aly mempunyai wawasan yang luas dalam bidang keagamaan dan menjadi rujukan dalam menjawab permasalahan agama di tengah masyarakat.

Meskipun Ma’had Aly memiliki kedudukan yang sama dengan Perguruan Tinggi, namun tujuan Ma’had Aly lebih fokus kepada penguatan pemahaman terhadap kitab turats. Dalam Peraturan Menteri Agama nomor 71 tahun 2015 pada pasal 2 yang menjelaskan tujuan didirikannya Ma’had Aly, bahwa pendidikan Ma’had Aly bertujuan untuk dua hal, yaitu: Satu, menciptakan lulusan yang ahli dalam bidang ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin), Dua, mengembangkan ilmu agama Islam berbasis kitab kuning.

Hadirnya Ma’had Aly tidak terlepas dari peran KH R. As’ad Syamsul Arifin yang menjadi inisiator beridirinya Ma’had Aly pertama di Indonesia. Beliau merupakan pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Pada tahun 1990, Ma’had Aly pertama didirikan sebagai jenjang pendidikan tinggi di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dengan takhassus di bidang ilmu fiqih dan usul fiqih. Lalu pada tahun-tahun berikutnya jumlah Ma’had Aly yang beridiri di berbagai pesantren terus bertambah seiring berjalannya waktu. Namun, Ma’had Aly baru mendapat pengakuaan setara dengan Perguruan Tinggi oleh negara pada tahun 2015. Yaitu, berdasarkan amanat PP nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, UU nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, PMA nomor 13 tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam, dan PMA nomor 71 tahun 2015 tentang Ma’had Aly, terdapat 13 Ma’had Aly se-Indonesia yang diberi SK Izin Operasional.

Di Aceh, lahirnya Ma’had Aly mendapat sambutan yang baik dari kalangan teungku dayah, terutama bagi para santri yang memiliki keinginan untuk memperoleh gelar sarjana. Namun tidak sedikit pula dari kalangan teungku dayah yang memandang sinis terhadap munculnya Ma’had Aly di lingkungan dayah. Ma’had Aly yang setingkat dengan perguruan tinggi tersebut juga tidak luput dari cemoohan sebagian teungku dayah yang menganut paham fundamentalis.

Berdasarkan data dari Kementrian Agama Provinsi Aceh, jumlah Ma’had Aly di Aceh ada 6: Ma’had Aly Babussalam Al Hanafiyya Matang Kuli, Ma’had Aly Raudhatul Ma’arif Cot Trueng, Ma’had Aly Malikussaleh Panton Labu, Ma’had Aly MUDI Masjid Raya Samalanga, Ma’had Aly Darul Munawwarah Kuta Krueng, dan Ma’had Aly Syekh Muda Wali Al-Khalidy Labuhan Haji. Keenam Ma’had Aly tersebut sudah mendapatkan SK dari Kementrian Agama yang setingkat dengan Perguruan Tinggi lainya berdasarkan dengan takhassusnya masing-masing.

Lulusan Ma’had Aly Mau Jadi Apa?

            Meski Ma’had Aly setingkat dengan Perguruan Tinggi lainnya, lulusan dari lembaga keislaman tersebut masih dipertanyakan bagaimana kedepannya status gelar sarjana yang diperoleh, apakah juga akan setara dengan gelar sarjana yang didapat dari Perguruan Tinggi pada umumnya? Meskipun setara, tentu lulusan Perguruan Tinggi yang sudah terakreditasi dari negara dan resmi mendapat pengakuan sarjana dari masyarakat pada umumnya lebih didahulukan dalam hal apa pun, terutama dalam perihal dieluk-elukan.

Di tahun 2024, pemerintah melalui Badan Kepegawaian Negara (BKN) membuka peluang bagi lulusan Ma’had Aly untuk bersaing diajang CPNS. Melalui gelar sarjana agama tersebut hanya dapat mendaftar di dua formasi dari kemenag: penghulu dan penyuluh agama. Bahkan untuk formasi guru agama pun tidak mempunyai kesempatan, meskipun lulus dari lembaga keislaman yang setara dengan Perguruan Tinggi, katanya.

Ketentuan tersebut tentu membuat para santri yang ingin masuk ke jenjang pendidikan Ma’had Aly di dayah berpikir dua kali, terlebih menimbang metode belajar-mengajar yang masih menganut sistem “lage beut masa santri” yang menjadi salah satu keluhan dari kebanyakan calon mahasantri. Ya, meski kurikulum pelajaran di Ma’had Aly berbeda dengan kurikulum sanrti di dayah, seharusnya metode pembelajarannya juga harus sedikit berbeda dengan menambahkan alat penunjang belajar ala-ala Peguruan Tinggi pada umumnya. Tentu tidak harus sama, namun harus ada sedikit perbedaan dari cara belajar-mengajar sebelum menjadi mahasantri. Sehingga akan memantik semangat para calon mahasantri untuk memantapkan pilihan mereka menjadikan Ma’had Aly sebagai jenjang pendidikan tinggi.

Di tahun 2025 pemerintah juga kembali memberi angin segar kepada lulusan sarjana Ma’had Aly dengan diberikan izin untuk mendaftar Pendidikan Profesi Guru (PPG) dengan takhassus guru agama. Namun juga ditekan dengan persyaratan harus sudah mengabdi sebelumnya sebagai guru dengan masa bakti minimal 2 tahun. Anehnya, gelar sarjana agama yang didapat hanya berlaku “kesaktiannya” di bagian penyuluhan agama bukan guru agama.

Pemerintah seharusnya bisa lebih terang benderang terhadap nasib lulusan Mahasantri dari Ma’had Aly. Sehingga Ma’had Aly yang awalnya dibentuk untuk mengasilkan lulusan yang benar-benar memahami agama secara menyeluruh bisa ikut andil dalam mengembangkan pendidikan, terutama pendidikan agama dan instansi agama terkait lainnya. Sehingga para mahasantri tidak merasa sia-sia ketika nantinya lulus dari Ma’had Aly, selain mendapat ilmu yang mendalam tentunya.

Sebagai Penghasil Legalitas Ijazah atau Intelektual Agama Berkualitas

            Sudah menjadi persyaratan umum, bahwa untuk bisa lulus kerja di negeri ini ijazah merupakan syarat pertama yang harus dipersiapkan. Hingga sampai perihal yang paling remeh-temeh pun harus ada ijazah, menimal tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Sehingga lembaga pendidikan agama atau dayah yang dulunya dipandang sebelah mata dengan ungkapan “hana masa depan” bagi para lulusannya mulai bangkit dan berbenah mempersiapakan diri untuk mendapat legalitas masyarakat dan pemerintah. Sehingga lahirlah dayah-dayah yang menganut metode Satuan Pendidikan Muadalah (SPM) sebagai bentuk pengakuan dan penyetaraan pendidikan pesantren (dayah) terhadap pendidikan formal nasional di Indonesia, dengan kemungkinan lulusan dayah memiliki ijazah setara dengan pendidikan umum.

Sebagai bentuk penyetaraan dengan Perguruan Tinggi (PT) maka lahirlah Ma’had Aly sebagai lembaga keagamaan yang menghasilkan sarjana agama yang setara dengan sarjana lulusan Perguruan Tinggi pada umumnya. Sehingga Ma’had Aly menjadi alternatif bagi para santri yang ingin melanjutkan pendidikan dengan gelar sarjana tanpa harus masuk Perguruan Tinggi di luar dayah.

Namun akhir-akhir ini tujuan utama dari beridirinya Ma’had Aly sudah sedikit diselewengkan. Lembaga agama yang bertujuan melahirkan intelektual agama yang berkualitas sekarang hanya seolah lembaga penghasil ijazah berlegalitas. Buktinya banyak lulusan Ma’had Aly yang hanya bergelar sarjana agama namun tidak benar-benar mengerti agama. Bahkan tidak jarang dari lulusan tersebut yang masih berlepotan saat disodorkan untuk membaca kitab kuning, yang memang menjadi kurikulum utama pembelajarannya.

Para pengurus Ma’had Aly mulai menjaring calon mahasantri untuk bisa menjadi lulusan sarjana dari lembaga tersebut dengan berbagai metode pemebelajaran, hingga bahkan dengan sakali tatap muka dalam sebulan sudah sah dianggap hadir, tanpa memikirkan menguasai atau tidaknya ilmu yang didapat. Dengan dalil mengusai atau tidaknya ilmu bukanlah urusan dari lembaga dan mengiming-iming legalitas ijazah yang didapat nantinya, menjadikan lembaga Ma’had Aly sudah keluar dari tujuan esesial berdirinya, yaitu melahirkan lulusan agama yang beritelektualitas.

Bahkan menariknya, para kaum fundamentalis dari sebagian teungku dayah yang dulunya ikut mencemooh mahasantri Ma’had Aly sekarang berbalik arah ingin pula menjadi lulusan dari lembaga agama setara Perguruan Tinggi tersebut. Tentunya dengan harapan ijazah bergelar sarjana yang kelak akan berguna di kemudian hari. Lah, bagus dong, jika alumni dayah semua bergelar sarjana. Sehingga stigma “hana masa depan” bagi lulusan dayah dapat sedikit berkurang dalam masyarakat, tentunya jika sudah memakai “baju seragam” dengan berkat gelar sarjana tersebut.

Sebagai Kesimpulan, perlu adanya peningkatan mutu dari pihak pengurus Ma’had Aly baik dari metode belajar, para dosen pengajar yang berkualitas (biarpun tanpa embel-embel gelar dibelakang namanya), dan tentunya ada sarana dan prasarana belajar mengajar yang memadai. Sehingga dengan benar-benar memepersiapkan kelengkapan penunjang akademi tersebut dapat menghasilkan lulusan agama yang berkualitas dan berintegritas.

Scroll to Top